twitter


• ItTiba’ MenuRut baHasa

Ittiba’ adalah mashdar dari ittaba’a asy-syai (mengikuti sesuatu), apabila ia berjalan pada jejaknya dan mengikutinya. Kata ini berkisar pada seputar makna: lihaq, tathallub, iqtifa (mengikuti), iqtida, taasi (mencontoh)

Dikatakan Ittiba’al Qur’an, yakni mengikuti al-Qur’an dan mengamalkan apa yang terdapat di dalamnya. Dan ittiba’ar-Rasul, yakni mencontoh Rasul, mengikuti jejaknya dan meneladaninya (lisan al-Arab, 1/416-417; al-Mu’jam al-Wasith, 1/81)



• Ittiba’ menurut Syariat

Menurut syariat, ItTiba’ adalah mencontoh dan meneladani Nabi shalallah alaihi wasalam dalam keyakinan, ucapan, perbuatan dan tindakan meninggalkan, dengan beramal seperti amalannya menurut cara yang beliau lakukan, baik wajib, anjuran, mubah, makruh (dibenci) maupun larangan, dengan disertai niat dan kehendak didalamnya.

Mengikuti Nabi shalallah alaihi wasallam adalah salah satu prinsip agama Islam dan salah satu ketentuan syariah yang harus diterima dengan bulat (MUTLAK) serta perkara yang mesti (WAJIB) diketahui.

Nash-nash syariah yang shahih telah banyak menerangkan dan menegaskan hal itu, antara lain, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, artinya, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7).

Allah Azza Wa Jalla berfirman, artinya, “Barangsiapa menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara mereka.” (An-Nisa’: 80)

Suatu amalan tidak akan diterima (DITOLAK) oleh Allah Azza Wa Jalla melainkan dengan ittiba’ dan sesuai dengan apa yang dibawa oleh Muhammad shalallah alaihi wasallam, bukan sesuai dengan (hawa nafsu) yang dibawa (dikatakan) kiayi Su’, ustad Su’ atau guru fajir.

Rasulullah shalallah alaihi wasallam bersabda, “Jika aku melarang kamu terhadap sesuatu perkara, maka jauhilah dan jika aku memerintahkan kamu kepada sesuatu perkara, maka kerjakanlah menurut kemampuanmu.” (HR. al-Bukhari)

Amalan-amalan yang dikerjakan dengan tanpa ittiba’ dan meneladaninya hanya akan menambah pelakunya semakin jauh dari Allah Rabbul Izzati karena tersesat baik disadari ataupun tidak, yang menyebabkan pelakunya kelak dilemparkan ke dalam Jahanam. Hal demikian itu mengingat karena Allah Azza Wa Jalla hanya disembah dengan perintahNya (ILMU) yang dengannya Dia mengutus RasulNya, bukan berdasarkan pendapat ataupun hawa nafsu semata.

Rasulullah shalallah alaihi wasallam bersabda, ”Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim; no. 1718)

Al-Hasan al-Bashri berkata, ”pernyataan tidak sah kecuali dengan perbuatan, pernyataan dan perbuatan tidak sah kecuali dengan niat, pernyataan dan perbuatan serta niat tidak sah kecuali dengan sunnah.”

Ibnu Rajab berkata, ”Sebagaimana halnya bahwa setiap amal yang tidak diniatkan karena wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala maka pelakunya tidak mendapatkan pahala, maka demikian pula setiap amalan yang bukan perintah Allah dan RasulNya adalah tertolak atas pelakunya, dan setiap orang yang mengada-ada dalam urusan agama yang tidak diperkenankan Allah dan RasulNya maka itu bukan termasuk agama sedikit pun.” (Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, 1/176).

Rasulullah shalallah alaihi wasalam bersabda, ”Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah merupakan kesesatan.” (HR. Muslim; no. 867)

Dan beliau shalallah alaihi wasalam bersabda, ”Setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah merupakan kesesatan.” (HR. Muslim; no. 43)

Dan dalam riwayat lain, beliau shalallah alaihi wasallam bersabda ”Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka.” (An-Nasa’i; no. 1577)

Hendaklah setiap Muslim jika melakukan suatu amalan ibadah memperhatikan bentuk ibadah yang dilakukannya. Adakah contohnya dari Nabi ?? atau adakah contohnya dari para sahabatnya ?? ... jika diketahui ada, maka lakukanlah tetapi jika belum tahu maka jangan lakukan sampai mengetahuinya.

Seseorang wajib berilmu sebelum dia berbicara dan beramal shalih. Karena Allah Azza Wa Jalla tidaklah disembah melainkan dengan Ilmu. Dalam beramal sebaiknya seseorang mencari tahu (ilmu) dengan menggunakan berbagai macam cara dan sarana. Baik dengan menghadiri majelis-majelis ta’lim ataupun –jika tidak sempat- dengan cara membeli buku-buku (kitab) yang dikarang oleh ahlul ilmi atau pewaris para Nabi (ulama) bukan yang dikarang oleh sembarang orang.

Rasulullah shalallah alaihi wasallam bersabda, ”Setiap umatku akan masuk Surga kecuali orang yang enggan.” Mereka bertanya, ”Wahai Rasulullah, siapakah yang enggan?” beliau menjawab, ”Siapa yang manaatiku ia masuk Surga, dan siapa yang menentangku maka ia telah enggan.” (HR. al-Bukhari)

Mengenai Firman Allah Azza Wa Jalla, artinya, ”Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula yang hitam muram.” (Ali Imran: 106).

Ibnu Abbas radhiallah anhu berkata, ”adapun orang-orang yang wajah mereka putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan orang-orang yang berILMU, sedangkan orang-orang yang wajah-wajah mereka hitam muram adalah AHLI BID’AH dan kesesatan.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahli as-Sunnah, al-Laika’i, 1/71 No. 74)

Az-Zuhri rahimahullah berkata, ”Berpegang teguh dengan sunnah adalah keselamatan.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahli as-Sunnah, al-Laika’i, 1/56 No. 15). Wallahu a’lam.

Semoga ManFaat ...

0 komentar:

Posting Komentar

Your Coment